Sejarah Yang Bergerak
Representasi Pertunjukan Teater Kubur Dari Orde Baru hingga Pasca Reformasi di Indonesia
Ratu Selvi Agnesia dan Dindon W.S.
Tulisan ini ingin memaparkan perjalanan Teater Kubur dalam rentang waktu 35 tahun (1983-2018). Terutama pada beberapa pertunjukan Teater Kubur yang mengkritisi segala aspek kehidupan sosial, politik dan budaya sebagai bentuk resistensi pada masa Orde Baru (new era) dalam tiga pertunjukan yang disebut Trilogi Besi: Sirkus Anjing, Tombol 13 dan Sandiwara Dol. Tiga pertunjukan ini mengkritisi kondisi sosial politik pemerintah rezim Orde Baru yang refresif.
Pada masa Reformasi (reformation era) Teater Kubur melahirkan pertunjukan utama yaitu On Off: Rumah Bolong dan Instalasi Macet. Teater Kubur mulai melakukan representasi yang berkembang dalam memaknai kondisi sosial politik yang berbeda dengan tema yang lebih universal yaitu menyoal tanah dan lingkungan, kota, masyarakat urban Jakarta, kapitalisme, fundamentalisme hingga globalisasi.
Teater Kubur adalah teater kampung. Dari teater kampung, teater dapat menjadi refleksi sejarah yang bergerak tiap zaman. Karya-karya teater kubur secara kronologis selalu kontekstual dengan sejarah zaman di Indonesia dalam kondisi sosial dan politik. Tulisan ini akan membahas masalah apa saja yang diangkat teater kubur dalam beberapa pertunjukan utamanya dari persoalan keluarga, masyarakat hingga bangsa.
Bagaimana metode teater tubuh yang menjadi estetika utama dalam teater kubur dengan metode untuk “menyusuri kemungkinan tak terduga.” Penggunaan benda-benda sebagai idiom yang memiliki pemaknaan lain dalam pertunjukan teater kubur. Akhirnya, esensi yang terpenting dari Teater Kubur menurut Dindon adalah dapat memberikan kesaksian dan daya kritis. Teater dapat menjadi cermin, dapat menawarkan dan menghidupkan daya kritis masyarakat.
Pertunjukan On-Off dan Rumah Bagi Teater Kubur
Rumah adalah diri kita. Rumah adalah keluarga. Rumah adalah bangsa. Rumah adalah budaya. Rumah adalah lingkungan terdekat kita dan rumah adalah identitas sesungguhnya diri kita yang kepemilikannya tidak boleh diambil siapapun. Itulah segelintir tafsiran dari berbagai makna simbolik dari pementasan On-Off: Rumah Bolong dari Teater Kubur, sutradara Dindon W.S.
Sehari sebelum keberangkatan tim Teater Kubur ke India, pada Sabtu, 20 Januari 2016 mereka melakukan pentas uji gelar di rumahnya sendiri, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kober, Jatinegara-Jakarta Timur. Di tengah pekuburan tersebut terdapat lapangan kosong yang digunakan Teater Kubur untuk latihan. Sebuah kuburan, ruang yang dianggap sakral dan menakutkan bagi masyarakat Indonesia justru digunakan menjadi role model yang khas di mana para pelaku teater teater bisa berlatih. Bisa dikatakan, di Indonesia hanya teater kubur yang berani berlatih, berproses dan pentas di kuburan.
Kuburan menjadi tempat komunitas teater tersebut dapat hadir dan membangun ikatan erat secara emosional dengan masyarakat setempat. Terbukti dengan kehadiran para masyarakat Kober yang didominasi oleh ibu-ibu dan anakanak. Menjelang waktu pementasan, mereka berduyun-duyun datang mengelilingi ruang pertunjukan. Hujan yang tak pula berhenti dari siang hingga saat pertunjukan berlangsung tidak menyurutkan loyalitas penonton yang menyaksikan pertunjukan ini. Mereka menonton dengan hikmat, menggunakan payung atau plastik kresek sebagai penutup kepala sembari berdiri hingga berjongkok. Pemandangan menonton dari masyarakat pinggiran Jakarta yang khas dan tak akan ditemukan di gedung-gedung pertunjukan prosenium yang elegan.
Panggung teater eksperimental On-Off: Rumah Bolong menggunakan konstruksi bambu vertikal yang mengelilingi tiga sudut menyerupai setengah lingkaran di tengah TPU Kober. Garis-garis di bambu seperti mewakili garis gedung-gedung tinggi di Jakarta. Selama hampir dua jam, pertunjukan ini menampilkan dramatisasi adegan demi adegan yang memberi makna simbolik tentang rumah.
“Sebuah rumah yang kehilangan pintu dan jendela adalah sebuah ancaman.” Tutur Dindon dalam konsep gagasan pertunjukan. Titik keberangkatan On-Off menyoal tentang problematika domestik dari keluarga Salmon yang diperankan Andi Bersama sebagai tokoh utama. Salmon berusaha mempertahankan masing- masing anggota keluarganya untuk tidak terpengaruh oleh ancaman asing serupa modernisasi, hedonisme, kapitalisme atau yang disebut “gula-gula” (Pemanis buatan) yang akan merobohkan konstruksi jati diri keluarga dan rumah Salmon.
Sekuat apapun Salmon berusaha menerabas, justru perubahan “budaya” yang asing dan gula-gula itu semakin menguat. Simbolisasi gula-gula dan budaya asing dalam bentuk miniatur pesawat, dinamit, senapang dan jas kebesaran semakin meracuni isteri Salmon dan Salmin, sang cucu Jhon hingga nenek sebagai pertahanan terakhir yang masih kuat mempertahankan tradisi dan jati diri tak luput pula teracuni. Rumah dan keluarga Salmon dirubuhkan satu persatu, digoyahkan pondasi jati diri dan dihancurkan konstruksinya.1
Menurut Dindon. Dalam On-Off, rumah adalah keluarga dan bangsa. Begitu rumah itu bolong dan tercerabut, pintunya terbuka bebas, maka binatang liar dan anjing-anjing masuk sebagai metaphor dari materialisme, fundamentalisme, kapitalisme, globalisasi. Akibatnya rumah tersebut ideologinya pecah, ada yang mengejar impian sampai jadi tenaga kerja ke luar negeri, ada yang menjadi teroris, yang tersisa hanya seorang nenek yang tetap menjaga rumah bersama cucunya. Nenek dan cucunya yang kelak menjaga budaya dan bangsa.
Teater Kubur sebelumnya telah mementaskan On-Off di Setagaya Public Theatre di Tokyo Jepang (2008) dan di Teater Salihara-Jakarta (September, 2010). Kali ini On-Off: Rumah Bolong akan dipentaskan di kota Bareilly-India Utara yang dikenal dengan tanah kelahiran Siwa (Land of Lord Shiva) dalam International Theatre Festival Bareilly-India pada 26-30 Januari 2016.
Dalam rentang waktu yang panjang, On-Off tetap setia dengan beberapa aktor terdahulu di keluarga Salmon sebagai pemeran utama seperti Andi Bersama, Aisyah, Zazila, Yardim Ada, Sri Kuwati dan Edy Muhammad. Intensitas berproses teater sebagai jalan hidup mereka penting untuk diapresiasi. Andi tetap menunjukan kemampuan teater tubuh yang mumpuni. Tubuhnya cekatan saat meniti, menaiki hingga bermain dengan bambu. Dari total 13 aktor yang bermain di On-Off terlihat pula regenerasi aktor-aktor teater tubuh yang muda dan terlihat matang dalam bermain.
Dari uraian di atas, tulisan ini ingin merefleksikan pertunjukan teater kubur yang memiliki relasi kuat antara teater kubur sebagai komunitas yang lahir dan berdiri di tengah masyarakat urban pinggiran Jakarta.
Rumah sesungguhnya teater kubur adalah kuburan yang dapat menjadi tempat untuk berlatih dan pentas, disaksikan dan melibatkan masyarakat setempat. Maka identitas asli teater kubur adalah dirinya yang tidak bisa terlepas dari masyarakat dan kondisi bangsanya.
Sejarah Teater Kubur
Teater Kubur adalah “teater kampung.” Teater yang dibentuk sebagai kelompok kegiatan anak-anak kampung yang tinggal di sekitar lokasi pemakaman di Gang Kober, Jatinegara, Jakarta Timur. Pada saat itu Dindon W.S. sebagai sutradara merasa prihatin, jiwanya terpanggil melihat anak-anak muda yang terjerumus ke dalam dunia narkotika dan kriminalitas. Perlahan, mereka mau berkesenian, anggotanya terdiri dari anak-anak sekolah, pengangguran, preman, anak-anak putus sekolah, pekerja sektor informal dan lainnya.
Awalnya, kegiatan kesenian yang dilakukan sangat spontan dan tanpa biaya, hanya mengandalkan barang-barang bekas, mereka pentas terutama untuk perayaan hari kemerdekaan dengan tujuan untuk menghibur masyarakat sekitar dengan mengandalkan kekuatan improvisasi. Sambutan dari masyarakat membuat mereka percaya diri hingga berjalan dua tahun mereka mencoba untuk lebih mengenal dan memahami kembali: Apa itu teater? Apa itu kesenian?
Dindon mengatakan yang terpenting adalah “seni dapat menjadi media penyadaran” dan kesenian tidak boleh jauh dari lingkungannya.
Pada 13 Juli 1983 Teater Kubur berdiri dengan pertunjukan teater yang lebih matang berjudul Sandiwara atas Sandiwara karya dan sutradara Dindon W.S. Kenapa bernama teater kubur? Karena sebagian besar anggotanya bertempat tidak jauh dari lokasi pekuburan dan di lokasi itulah mereka berlatih hingga kini.
Alasan khusus lain menurut Dindon adalah dengan latihan di kuburan, kita bisa belajar dari orang mati. “Kalau kita tidak bisa menghargai hidup, apakah kita bisa meninggalkan tanda setelah kita mati.”
Sejak pertunjukan pertama, mereka tetap rutin latihan hingga tahun 1985 mereka memutuskan mengikuti Festival Teater Jakarta sebagai sebuah festival teater tertua di Indonesia hingga saat ini. Dindon sebagai komandan mengajukan syarat utama yaitu harus latihan setiap hari selama enam bulan. Bagi yang tidak sanggup, lebih baik tidak ikut festival. Sebenarnya syarat itu hanya alasan Dindon agar mereka tidak jadi ikut festival, tetapi anggota teater kubur sangat bersemangat dan memenuhi syarat itu.
Naskah drama pertama yang mereka mainkan berjudul AA. II. UU karya Arifin C. Noer, dimainkan tanggal 19 Februari 1986 di Taman Ismail Marzuki di sebuah gedung pertunjukan prestisius hingga saat ini. AA. II. UU merupakan pertunjukan naskah drama televisi yang diadaptasi dalam bentuk panggung yang bercerita tentang seorang anak yang ingin meneruskan kuliah ke jurusan sejarah, namun ayahnya ingin dia memilih jurusan lain yang memiliki nilai komersil. Akhirnya si anak mogok makan dan mengunci diri di kamar sehingga seluruh keluarga panik sampai melakukan perundingan yang spekulatif hingga intrik kotor dan penuh intervensi. Pertunjukan realis dan komedi tetapi sarat makna tentang keluarga.2
Pertunjukan pertama ini langsung memenangkan penghargaan grup terbaik. Tahun-tahun selanjutnya, Teater Kubur memainkan Kucak-Kacik karya Arifin C. Noer (1987) dan Kapai-Kapai (1988) keduanya di Teater Arena, Teater Ismail Marzuki. Dindon membawakan naskah Arifin C. Noer dari tingkat naskah realis yang mudah ditafsir dari AA. II. UU hingga naskah yang lebih menantang seperti Kucak-Kacik dan Kapai-Kapai yang berbicara tema keterasingan manusia.
Dalam tiga kali pertunjukan, Teater Kubur menjadi pemenang grup terbaik berturut-turut. Setiap teater kubur bermain sudah dipastikan penontonnya berasal dari satu kampung dan mereka akan bersuka cita membawa piala dan merayakan kemenangan bersama.
Setelah lepas dari festival, Dindon dan Teater Kubur merasa tidak puas dengan naskah Arifin C. Noer dan ingin membuat naskah dan pertunjukan sendiri. Teater Kubur mulai mencari identitas yang asli dan menekankan dengan proses pencarian melalui eksplorasi tematik dan estetik.
Trilogi Besi: Sirkus Anjing, Tombol 13 dan Sandiwara Dol
Usai kemenangan berturut-turut di Festival Teater Jakarta, teater kubur berlatih keras selama dua tahun dan menghasilkan karya yang berjudul Sirkus Anjing (1989-1990) sebagai titik awal penemuan identitas Teater Kubur secara estetika pemanggungan sekaligus merespon kondisi sosial politik di rezim orde baru.
Teater Kubur menyadari bahwa kesenian adalah pergulatan daya hidup atas hidup itu sendiri. Kreativitas bukan cermin yang dibikin-bikin. Butuh nyali butuh keberanian untuk tidak berhenti pada satu titik.3
“Jadi di rezim orde baru selain pertunjukan di festival teater Jakarta, saya melahirkan trilogi besi: Sirkus Anjing, Tombol 13 dan Sandiwara Dol. Memilih kata trilogi besi karena besi itu rezim atau kekuasaan” tutur Dindon.
Banyak kemungkinan yang tidak terduga dalam teater. Selama proses latihan panjang akhirnya muncul idiom “mencari kemungkinan yang tak terduga” salah satunya tong menjadi kemungkinan tak terduga. Tong menjadi media utama dalam Sirkus Anjing sebagai cikal bakal tradisi menggali dan mengeksplorasi estetika teater kubur ke batas kemungkinan tidak terduga.
Kenapa judulnya Sirkus Anjing? Sirkus adalah metaphor dari atraktif. Sirkus selalu dimainkan dengan atraktif. Kata anjing adalah umpatan kepada kebobrokan politik, anjing bisa disebut metafora para pejabat dan kekuasaan (rezim orde baru). Jadi mereka yang terampil menjungkirbalikan kekuasaan itu adalah binatang.
Makna Sirkus Anjing menjadi satir, secara harafiah, maknanya bahwa anjinganjing itu bermain sirkus dan memainkan segala cara untuk kekuasan. Sirkus itu ajaib, di mana kita melihat yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak mungkin menjadi mungkin dan itu yang dilakukan para anjing dengan permainan yang atraktif.
Pada pertunjukan Sirkus Anjing juga terasa isu dimensi sosialnya. Banyak masyarakat pendatang (perantau) yang datang ke Jakarta untuk meraih mimpi dan pada saat bersamaan sedang gila-gilanya masuk kapitalisme dan korupsi jadi uang ada di mana-mana.
Selanjutnya pertunjukan Tombol 13 yang dipentaskan tahun 1994-1995 di Taman Ismail Jakarta dan berlanjut tahun 1997-1998 di 10 kota di Indonesia. Pertunjukan ini dipentaskan sepulang Dindon dari Belanda selama lima bulan. Pada masa tersebut, ia ditawarkan untuk tinggal dan bekerja sebagai seniman di Belanda namun ia menjawab bahwa ia lebih perduli dengan permasalahan bangsanya. Dia harus kembali di tengah pembakaran huru-hara demo dan saat mahasiswa mau bergerak. Dindon kembali ke Indonesia dan mendapat bantuan dari Prince Claus Foundation dari Belanda untuk pentas keliling di 10 kota di Indonesia.
Tombol 13 yang pertama dipentaskan tahun 1994 lahir di saat Dindon merasa bahwa rakyat begitu sulit melawan kekuasaan rezim, mau tidak mau, menurut Dindon, teaternya paling tidak melahirkan daya kritis. Di bawah tahun 1995, seluruh kondisi sosial politik selalu depotilisasi jadi orang-orang takut bila membicarakan politik, sampai mahasiswa tidak berani turun ke jalan.
Ketika tahun tersebut, Teater Kubur sempat berkunjung ke Banyuwangi, sebuah kota di Jawa Timur. Orang-orang membicarakan sosok ninja yang menculik dan membunuh korban. Kegilaan rezim Orde Baru, orang bisa ditembak langsung, diculik langsung misalnya oleh sosok ninja misterius. Dindon dan teater kubur menyakini dengan penghayatan teater yang total, alam menuntun mereka untuk membayangkan rezim itu akan hancur, dalam Sandiwara Dol terdapat teks “cacing menggeliat tumpah” sebagai metafora rakyat yang bersatu, maka hancur betul rezim itu.4
“Kegelisahan ini yang saya tuangkan di Tombol 13.” Menurut Dindon, pada pertunjukan Tombol 13 yang dimainkan pada tahun 1994-1995, rakyat seperti melawan tembok besi dan kalah, tetapi pesan yang ingin disampaikan adalah meski tetap melawan secara fisik dan akhirnya kalah tapi rakyat tetap harus menyimpan kesadaran. Makna dari Tombol 13 artinya suatu hari tombol itu (rezim orde baru) akan meledak. Pertunjukan Tombol 13 seperti sebuah ramalan, tahun 1998 terjadi ledakan dengan kejatuhan Soeharto, Presiden Indonesia.
Pertunjukan terakhir dari trilogi Besi adalah Sandiwara Dol sebagai pertunjukan yang diartikan sebagai puncak jatuhnya Orde Baru. Maksud Sandiwara Dol di sini bila permainan sandiwara mereka (rezim Orde Baru) itu sudah tidak sehebat dan berkuasa seperti dahulu. Mereka adalah “The Dolls” Mereka sudah tidak ada malunya menipu, sandiwara mereka sudah tidak ada rem nya. Mereka semua sudah bertopeng.
Merunut pertunjukan-pertunjukan Trilogi besi, secara kronologis karya-karya Teater Kubur pada saat itu memang kontekstual dengan kondisi sosial, politik dan zaman sebagai bentuk resistensi pada rezim Orde Baru dengan menawarkan daya kritis.
Pada masa rezim Orde Baru (1966-1998) banyak grup teater di Indonesia, khususnya di Jakarta yang melakukan perlawanan. Pada masa itu rezim orde baru dan Soeharto adalah musuh bersama. Selain Teater Kubur terdapat Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno yang seringkali mendapat pencekalan dari militer saat pertunjukan akan berlangsung. Juga Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, Bengkel Teater Rendra dan berbagai grup teater lainnya yang menyuarakan suara kritis terhadap rezim Orde Baru.
Dindon menceritakan pada masa itu, meskipun tidak ada pencekalan terhadap pertunjukan teater kubur, tetapi ketika teater kubur sedang berlatih mereka sudah tidak aneh lagi dengan kehadiran para intel yang berpura-pura melihat mereka latihan. Mereka tidak berani mengatakan kata “Soeharto” karena pasti ditangkap. Teater kubur dengan pilihan media teater tubuh dan metaforametafora nampaknya menjadikan tubuh sebagai strategi daya ungkap namun tak lepas dari daya kritis.
Makna Tubuh dan Benda-Benda dalam Teater Kubur
Ketika saat ini banyak seniman teater yang membicarakan teater sebagai dramaturgi baru. Teater Kubur dan Dindon sejak pertunjukan Sirkus Anjing telah menawarkan teater sebagai sebuah alternatif dan dramaturgi baru dengan cara membongkar segala hal dalam teater.
Tubuh dalam teater kubur menjadi salah satu metode utama. Mengapa teater kubur memilih tubuh? Menurut Dindon, tubuh menjadi alat untuk mengekspresikan sesuatu lebih dari gerak tubuh manusia pada umumnya, tubuh bisa menjadi metafora, tubuh bisa mewakili ekspresi- ekspresi di luar kemanusiaan kita dengan makna lain bahwa tubuh dapat mewakili “kebinatangan” dalam diri manusia.
Tubuh bisa mengekspresikan bagaimana ada adegan manusia bertopeng tapi gesturnya bukan seperti manusia biasa. Misalnya ketika teater kubur ingin memunculkan sisi kebinatangan manusia, Dindon sebagai sutradara harus memasuki tubuh sebagai imaji kebinatangan. Dengan memakai gerak tubuh sehari-hari seperti gaya realis tentu saja ekspresi kebinatangan itu tidak akan muncul. Ekspresi bahwa manusia itu bisa menjadi bejat/jahat. Oleh sebab itulah tubuh harus didistorsi, dilakukan pembesaran dan perluasan menjadi tubuh baru yang akan memunculkan kengerian baru.
Jadi seni tubuh itu bisa melukiskan suatu imaji kita tentang dunia yang sudah seperti binatang yang bisa dilukiskan lewat tubuh. Imaji kebinatangan misalnya pada karya Sirkus Anjing dan karya-karya lainnya yang melukiskan kebinatangan.
Adapun metode ketubuhan yang diterapkan Dindon adalah metode keluarmasuk, metode On-Off. Maksud dari “On” itu seperti gerak hidup manusia seharihari, dengan kesadaran (conscious). Sedangkan “Off” merupakan bawah sadar, di luar kesadaran (unconscious).
Ada ekspresi on dan ada ekspresi off. Ekspresi on adalah ekspresi sehari-hari tubuh kita, tubuh asli kita, seperti gaya realis. Sedangkan off ekspresi bawah sadar yang muncul seperti ekspresi orang yang sedang marah hingga tidak terkontrol. Para aktor di teater kubur terlatih memainkan on off, ekspresi sadar dan bawah sadar. Ekspresi keluar masuk itu.
Para aktor teater kubur juga memiliki tradisi yang panjang dalam ketubuhan. Yang terpenting adalah pengkondisian. Ketika berlatih, para aktor tanpa diminta sutradara sudah memulai dengan menggerakan tubuh dan bermain sendiri. Improvisasi tubuh menjadi kebiasaan dalam teater kubur.
Aktor itu pencipta. Aktor bukan budak sutradara. Tradisi pencipta diciptakan dalam teater kubur. Tradisi untuk aktor berpikir dan mencari, agar aktor menjadi dirinya bukan dicetak oleh sutradara.
Pengkondisian untuk aktor berlatih dengan bebas saat latihan memang Dindon ciptakan. Dia sebagai sutradara hanya memberi teknik- teknik dan pengalaman dasar menggali tubuh. Tubuh dalam teater kubur dimatangkan hingga menjadi tubuh yang berbunyi atau “body ensamble.” Tubuh sebagai alat ekspresi dan idiom harus terus diasah. Setelah tubuh sebagai peralatan sudah bagus, baru Dindon dan para aktor mematangkan kreativitas gagasan dan ide.
Menyusuri Kemungkinan Tak Terduga
Membuka ruang pengkondisian seluas-luasnya, merupakan stimulasi awal proses kreativitas dalam kerja teater. Teater kubur memperkenalkan istilah menyusuri kemungkinan tak terduga. Di mana ia percaya, bila ketika mereka berteater tanpa menghitung lagi batasan-batasan lelah dan melampaui batasan lazim maka akan muncul kecerdasan intuisi. Contohnya bila latihan teater setelah tiga jam sudah lelah, teater kubur biasa melewati batasan lelah tersebut hingga rasa lelah itu menjadi hilang. Setelah hilang maka kecerdasan intuisi akan muncul, itulah yang mereka gali.
Kecerdasan intuisi yang melahirkan kemungkinan-kemungkinan. Misalnya dalam pertunjukan Sirkus Anjing, para aktor sudah bisa masuk ke dalam tong tanpa berpikir lagi. Aktor masuk dalam tong dan menggerakkannya tanpa melihat, mereka bermain tanpa saling bertubrukan dengan aktor lain. Tubuhnya lompat ke dalam tong dan kakinya langsung naik ke atas. Dalam hitungan pikiran, itu tidak mungkin menurut Dindon, tetapi dengan berlatih bertahun-tahun dalam tong, kecerdasan intuisi para aktor terlatih.
Aktor-aktor berlatih masuk ke dalam tong bertahun-tahun. Karena rasa lelah sudah lewat, artinya di situ ada energi bawah sadar yang melewati batas sadar, itu sebenarnya ada cadangan energi dalam manusia yang sebenarnya bisa keluar ketika batas-batas itu dilewati. Totalitas karena berbagai kemungkinan bisa di gali. Ketika kita membebaskan dari ketidakkemungkinan itu maka akan bisa menjadi sesuatu.
Kecerdasan pikiran hanya pada konsep, tapi kecerdasan intuisi hanya bisa dilatih dengan pengkondisian saat berlatih. Termasuk pemilihan benda-benda yang memunculkan imaji dan makna-makna merupakan hasil kecerdasan intuisi.
Awalnya mereka melihat tong awalnya sebagai tong. Di teater kubur terbiasa menyapu dan membuang sampah sebelum latihan. Sampah dibuang setiap hari ke tong. Semakin lama, penghayatan terhadap tong memunculkan imaji baru. Tong menjadi roda, mobil, radio dan rumah. Kecerdasan intuitif ini muncul hanya saat pengkondisian saat berlatih lama dan itulah yang memunculkan kemungkinan yang tidak terduga. Begitu pula dengan box-box tempat duduk yang dijadikan danau. Setelah ditumpuk, box tersebut dapat menjadi Kampung Apung dalam pertunjukan Instalasi Macet (2018). Ketika berlatih panjang, para pemain teater kubur dapat berdialog dengan benda-benda, melihat tong, bangku dan melihat bambu dapat memunculkan ruang imaji kota dengan garis- garis dan setiap benda memiliki makna dan fungsi yang lain.
Improvisasi, pengkondisian dan kecerdasan intuisi merupakan hasil dari proses kondisioning latihan yang panjang di teater kubur untuk menyusuri kemungkinan tak terduga dalam teater. Kemungkinan adalah tergantung dari penghayatan. Dalam spiritualitas, ketika kita menggeluti sesuatu ibaratnya kita seperti lagi berbicara pada Tuhan. Entah kapan Tuhan memberi inspirasi. Teater seperti “tirakat” sebuah doa yang panjang.
Pertunjukan Pasca Reformasi
Setelah Reformasi tahun 1998, Teater Kubur melahirkan beberapa karya terbaiknya di antaranya Danga-Dongo tahun 1999 keliling 10 Sekolah Menengah Atas di Jakarta, Bandung, Tangerang, Bogor di Jawa Barat dan tahun 2003 keliling 10 sekolah tuna netra di kota yang sama.
Danga-Dongo merupakan pentas untuk orang buta. Ide itu muncul karena Dindon merasa tidak adil, mengapa pementasan teater hanya bisa disaksikan orang yang bisa melihat. Dindon menginginkan orang buta yang bermain dengan konsep merasakan teater.
Setelah Trilogi Besi yang dimainkan di era Orde Baru, Teater Kubur memainkan Jas Dalam Toilet tahun 2004. Pertunjukan tersebut dimainkan pasca reformasi. Saat itu, Megawati Soekarno Putri, Presiden Indonesia pada masa itu mengkritik banyak kebijakan. Orang-orang merasa euphoria saat baru memasuki masa demokrasi.
“Masyarakat merasa senang, demokrasi itu menjadi hal yang gila, tapi masyarakat masih belum mengerti apa itu demokrasi, jadi semua itu berubah di era reformasi, demokrasi diagungkan tapi masyarakat belum paham apa itu demokrasi” Jelas Dindon.
Pada saat itu pengaruh rezim Orde Baru juga masih terasa melekat. Pada pertunjukan Jas Dalam Toilet, saat rakyat mau melangkah akhirnya harus mundur lagi karena rakyat masih merasa takut. Seperti ada adegan para aktor dalam pertunjukan Jas Dalam Toilet, para pemain mau keluar terus mundur lagi, akhir pertunjukan dalam Jas Dalam Toilet, orang-orang di semen menjadi seperti patung. Maksudnya jangan sampai kegilaan dan kebobrokan para rezim itu terulang lagi dan jadikan itu sebagai momentum. Jangan sampai kita merasakan rezim itu lagi, kita harus melawan lupa.
Teater Kubur selalu memainkan satu atau pertunjukan untuk beberapa tahun. Alasannya bagi Dindon “teater itu bukan sebagai pabrik” teater tidak dapat menjadi industri dan teater membutuhkan proses latihan yang panjang tetapi matang.
Selanjutnya pertunjukan On-Off: Rumah Bolong, Topeng Monyet Bola Plastik dan X Kilometer di Jakarta Biennale di halaman Gelangang Planet Senen, Jakarta Pusat, Februari 2009. X Kilometer berbicara tentang kehidupan para pendatang di Jakarta yang saling mencurigai satu sama lain. Para aktor bermain dengan keluar dari rumahnya masing-masing, mereka bermain di terminal, stasiun kereta, bus dan akhirnya berkumpul di satu tempat. X Kilometer menjadi teater multi struktur dan panggungnya adalah kota.
Pertunjukan terbaru yang dimainkan Teater Kubur adalah Instalasi Macet sebagai hasil riset dan workshop teater pada tahun 2015. Kampung Apung sebelumnya bernama Kampung Teko, terletak di kelurahan kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat-Indonesia. Hampir selama 30 tahun kampung apung mengalami banjir permanen dengan genangan sampah dan eceng gondok.
Riset dari kampung apung ini dimainkan teater kubur dengan judul Instalasi Macet di Djakarta Teater Platform pada 14 September 2018 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Dindon memberi judul pertunjukan Instalasi Macet. Macet itu sesuatu yang gak berubah, instalasi itu ibarat bangunan-bangungan, ada yang jadi puing-puing, ada yang berhenti, ada kuburan terendam, kemacetan di kampung apung ini ini menjadi sangat instalatif, menjadi struktur bangunan yang macet.
Jadi Instalasi Macet ibaratnya ada 30 tahun lebih tempat itu tergenang air, sampai kuburan tidak terlihat lagi dan sudah seperti danau. Kampung Apung menjadi sejarah yang dikubur, ditambah antara masyarakat dan pemerintah seperti tidak punya solusi yang disepakati. Pemerintah menginginkan dibuat rumah susun, tetapi masyarakat ingin kampungnya menjadi semula.
Ada rumahnya yang sampai tenggelam dan ditinggalkan penghuninya, sebagian besar bertahan karena penduduk asli dan rumahnya terus ditinggikan. Akibatnya ada dua anak sampai menjadi korban yang juga ditampilkan dalam pertunjukan.
Pemerintah mengatakan kampung apung sebagai musibah karena permukaan air turun, tetapi realitasnya kampung apung menjadi bencana lingkungan karena pembangunan perumahan elit kapuk indah. Mayarakat kalah oleh lingkungan, pabrik-pabrik dan perumahan elit.
Akhirnya, 35 tahun Teater Kubur yang awalnya sebagai Teater Kampung, terus bergerak sebagai resistensi terhadap ketidakadilan. Teater Kubur memberi “Kesaksian” dari tiap rezim. Teater tidak dapat jauh dari masyarakat dan bangsa sebagai bahan biografi penciptaan. Teater Kubur memberikan kesaksian untuk memberi dan menularkan daya kritis dari teater kampung untuk bangsa.
- “Rumah dan Jati Diri Bangsa Yang tergusur” catatan pertunjukan Teater Kubur untuk akarpadinews.com, 2016.
- Flayer AA. II. UU, Teater Kubur, pertunjukan ini dimainkan 19 Februari 1986 setelah melewati proses latihan selama satu tahun.
- Wawancara Dindon W.S. di komunitas Teater Kubur, November 2018.
- Wawancara Dindon, November 2018.